Sun ray touched the wet ground
It caused the dry and dust
You touched the frozen heart
Then it melted
Masih terkurung dalam lingkaran yang belum berevolusi. Haha. Ya, tragedi. Dia tertidur dan membuka mata di pagi yang sama. Saat dia terbangun, yang pertama kali dicarinya adalah cermin dan bayangan dirinya. Lingkaran gelap di kelopak bawah mata masih utuh. Dengan putih yang memerah disorotnya. Setiap hari dia hanya tidur selama tiga jam. Setiap pagi dia harus mengejar kelas pagi yang menyebalkan. Dan setiap malamnya dia tak henti berpikir. Merasionalkan yang absurd dan mengabsurdkan yang rasional.
Tapi dia sangat berhasil dengan beban lakon dalam proyek takdir hidupnya.
Lihat saja make up nya. Dia melukis garis-garis keras di wajah. Dia juga mengatur letak bola matanya ketika berjalan tegas di trotoar, kau akan melihatnya bagai sosok apatis dan kejam. Lalu dia bercengkrama dengan teman-teman perempuannya yang hanya beberapa. Bersama mereka dia tertawa, tampil baik dengan senyum sempurna.
Lihat saja di mata para lelaki itu, rasa penasaran yang tak terlampiaskan membuncah ruah disana. Dia menemukan banyak mata yang seperti itu dan dia tak banyak peduli. Dan lihat saja di mata gadis-gadis itu, senang atau tidak, apa urusannya dengan hidupnya? Dia lebih tidak peduli lagi. Maklum saja, dia lahir saat carnation bermekaran. Dia menyimpan rapat sebuah rasa yang mendilema. Melemahkan. Dia selalu bersembunyi. Tak mau seorangpun tahu APA kelemahannya.
Pernah dia menganggap dirinya bodoh karena memelihara kelemahan. Dan dia berusaha mengenyahkannya. Namun dia tak menemukan pelipur lara yang mampu bertahta di atas kelemahannya tersebut. Dia amat lelah melawan, tak ada gunanya memberingas memberantas. Jadi kini ia terdiam dalam gelap kamarnya. Mendengarkan lagu-lagu tinggi. Memikirkan cara untuk melarikan diri dari kenyataan. Untung saja dia masih punya keluarga. Ibu, kakak, adik, kakak Ibu, dan keponakan-keponakan lucu. Jadi dalam waras, dia masih bisa mengesampingkan rasa waulahu'alam itu dengan bermimpi. Mimpi yang tinggi-tinggi dengan segudang nazar yang baik. Hingga dia lupa dengan niat pelarian diri itu.
Yah, kurasa dia memang bodoh. Dia banyak berspekulasi tentang lawan jenisnya. Dalam ketidakpedulian masih ada getir optimisme untuk mengejar cintanya. Getir satirnya. Haha. Bagiku ini tak lebih semacam kisah komedi kolosal. Dia begitu kolot mencintai dalam diam. Apa gunanya Kartini memperjuangkan emansipasi? Untuk apa ada gender balancing? Tapi namanya cinta, tak bisa dilogikakan. Apalagi dicerdaskan. Cinta itu bukan di kepala, sayang. . . tapi disini. Di hatiku. Di hatinya. Cinta itu tak searus dengan nalar. Cinta itu searus dengan intuisi dan emosi. Kalau kau tak paham juga, kudoakan agar dia menemukan akhir keabsurdannya. Kudoakan agar kau tetap hidup baik sebagaimana mestinya.
Karena dia tak pernah memaksakan.
Tak pernah mendendam.
Tahu diri.
Pasif.
Tidak punya kebodohan lain selain jatuh cinta pada seseorang berhati remuk yang lugu dan kolot.
Dia juga sangat peka.
Aku tahu itu. Aku kenal dia. Aku kenal diriku dan perasaanku. Sialan! Kurasa aku lebih suka orang ketiga tunggal dalam narasi. Karena dalam kasus ini, aku lebih suka berada di posisi 'dia' daripada aku. (If you know what I mean. . .)
Baiklah, kesimpulannya, dia mungkin tidak mencintaimu. Kau sama sekali bukan tipenya, idolanya, hahahaha. Dia mungkin hanya menyukai eksistensimu yang pernah ada di dekatnya. Dia mungkin merasa lengkap saat omong kosongnya didengar olehmu. Dia mungkin jatuh cinta pada dialog-dialog kotormu. Dia mungkin terjebak dalam sekotak kenangan yang pernah kau tinggalkan untuknya. Dia mungkin tak selamanya karam begini, akan ada tangan abadi yang menariknya dari gelap palung ke permukaan yang terang bercahaya.
Entah itu tanganmu. Entah tangan orang lain. Tapi tangan itu pasti datang dan mengoyak wajah palsunya.
She still covers her face with a hard lines of makeup
Her lovely messy hair
Walking alone through the night city
Whispering
It's a mortal
It has an end. . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar